Sedari tadi, makhluk kotor itu masih saja berdandan, seakan tak mau beranjak dari cermin yang ada di hadapannya. Sesekali ia membenarkan dasi yang mengikat lehernya, kemudian memakai jas dengan penuh kehati-hatian. Maklum saja, hari ini ia harus tampil di televisi dan mempromosikan nama besar partai sarang birunya kepada masyarakat. Agar ketika pemilihan umum nanti, partai sarang birunya bisa menang dan mengalahkan sarang-sarang dari berbagai warna lain. Itu artinya, kekuasaan akan dengan mudah ia dapatkan dan makanan kesukaannya akan menjadi santapan sehari-hari.
Setelah puas dengan penampilannya, ia pun segera beranjak pergi dengan membusungkan dada dan penuh kebanggan. Ya, setidaknya itu bisa menutupi kekurangannya dan menjadikannya disegani dan berwibawa dihadapan masyarakat. Tak lama kemudian, akhirnya ia sampai juga di tempat tujuan: Studio Televisi Swasta dengan berbagai macam alat media. Kemudian ia membenarkan dasinya lagi, dan mengecek kembali penampilannya. Sempurna sudah.
“Ehm.. Suatu kehormatan bagi saya bisa menjadi wakil terpilih dari Partai Sarang Biru. Sebagaimana anda ketahui bersama Partai Sarang Biru sudah berdiri selama belasan tahun dan memberikan prestasi yang luar biasa!” Tuturnya sambil tersenyum.
“Buktinya, sampai sekarang, tidak ada satupun kader darinya yang mencuri uang rakyat. Bukankah begitu? Maka, mari bergabung dan dukunglah kami. Kita perangi bersama korupsi yang sudah mengakar di negeri ini dan mari kita katakan tidak pada korupsi!” Lanjutnya berapi-api dan penuh kemantapan.
“Cut!” Sutradara menghentikan prosesi shooting pada pagi itu, kemudian ia bertepuk tangan pelan.
“Keren pak, keren!. Sambutan yang bagus!. Setelah ini tinggal proses editorial, lalu, siap tampil di televisi.” Kata sutradara itu sambil tersenyum.
“Oh, ia, terimakasih. Biaya penyutingan dan kong-kalikongnya sudah diurusi kan?” Ucapnya penuh wibawa.
“Oh, sudah, Pak.” Jawab sutradara sambil mengangguk pelan.
“Kalau kurang ngomong aja! Santai, uang saya banyak kok. Hahaha…” lanjutnya sambil terkekeh.
Sutradara itu hanya bisa tersenyum mengiyakan.
“Mau langsung kembali ke rumah, Pak?” Tanya sutradara itu.
“Ah, tidak. Saya ada bisnis dulu dengan teman. Mungkin baru pulang ke rumah nanti malam. Ya sudah ya, saya pamit dulu, terimakasih!” Jawabnya sambil berbalik badan dan meninggalkan tempat itu.
***
Kakinya berjalan pelan melewati lorong-lorong sempit yang gelap dan kumuh. Memandang ke segala arah dengan penuh kehati-hatian dan rasa waspada. Tak lama kemudian, ia bertemu dengan teman-teman tikusnya yang lain.
“Maaf, menunggu lama,” ucapnya basa-basi.
“Oh, tak apa! Kami juga baru datang. Bagaimana pak, anda setuju dengan kesepakatan kemarin?” Tutur temannya mengingatkan.
“Oh, itu sih gampang, bisa diatur!. Hanya saja, mungkin akan ada banyak kendala dan membutuhkan pelicin,” ucapnya sambil tersenyum.
“Oh, itu sih sudah kami siapkan pak!. Ini dia, silahkan di cek lagi barangkali kurang!” Jawab temannya yang lain sambil menyodorkan koper hitam besar.
Tikus itu langsung membuka kopernya dan melihat isinya. Mulutnya menganga. Makanan kesukaannya sudah tersimpan rapi disana. Artinya, besok dan seterusnya ia bisa makan kenyang tanpa banyak bekerja.
“Sudah lebih dari cukup, terimakasih banyak atas kerjasamanya,” katanya sambil menyodorkan tangannya.
“Sama-sama pak. Oh iya, hati-hati pak. Jangan sampai hal ini terendus kucing, nanti kita bisa dimakan!” Tutur temannya penuh rasa cemas.
“Santai saja!. Tinggal diberi ikan juga sudah nurut. Hahaha…” Ucapnya santai sambil tertawa terbahak-bahak, kemudian diikuti temannya-temannya.
***
Iklan Partai Sarang Biru sudah tersebar di berbagai televisi swasta sedari satu bulan yang lalu. Kekuasaan pun saat ini sudah ia dapatkan. Tapi baru-baru ini, hatinya penuh dengan rasa cemas dan takut. Sebentar lagi karirnya akan hancur. Kemarin ia baru bertransaksi lagi, dan kali ini makanan yang ia dapatkan lebih banyak. Tapi sepertinya, ada kucing yang tahu dan mengikutinya. Ia sudah mencoba menghindar kemanapun sebisanya, sampai-sampai ia kehabisan tempat untuk bersembunyi. Kemarin juga ia sudah mencoba bernegoisasi dengan kucing itu dan menawarinya ikan. Tapi kucing itu berbeda dari kucing-kucing yang lain, ia malah menolaknya dan siap melaporkannya atas tuduhan penyuapan.
Tikus itu kehilangan akal. Sebentar lagi ia akan diringkus dan dibui. Kekuasaannya akan hilang, dan partainya akan kehilangan kejayaan. Kata-kata “katakan tidak pada korupsi” yang dia ucapkan kemarin, justru akan membuat partainya bangkrut karena salah satu kadernya, bahkan yang mengatakan itu sendiri malah melakukan sebaliknya.
Tikus itu terduduk kaku. Kursinya merengek, tidak kuat menopang perut buncitnya. Kemudian ia tertunduk lesu. Mau bagaimana lagi, sudah tidak ada celah untuknya.
***
Kali ini, besi-besi vertikal memenjara tubuhnya. Ia tak sendiri, teman-temannya juga ada disampingnya. Malah, disana juga ada teman sesama partainya. Menurut keputusan hakim minggu kemarin, ia dipenjara selama empat tahun dengan denda sebanyak dua ratus juta. Sebuah hukuman yang enteng baginya. Tidak sebanding dengan semua yang dia makan dan tersimpan di perut buncitnya.
Anehnya, baru-baru ini ia diperbolehkan kucing sipir untuk jalan-jalan ke negeri tetangga. Pantas, dia masih punya banyak cadangan ikan. Sipirnya juga sangat suka ikan. Ah, kalau begitu terus, kenapa tidak dihukum mati saja sekalian?.
*Penulis adalah redaktur
Majalah Harakah Al-Falahiyah
0 Komentar