Pesantren
dan segala pernak-pernik kehidupan didalamnya memang merupakan hal yang menarik
bagi kebanyakan orang. Apalagi setelah dunia pesantren diakui masyarakat dan
pemerintah Indonesia dengan diresmikannya Hari Santri Nasional (HSN) pada 22
Oktober 2015 kemarin, semua itu tak lain adalah sebagai bentuk penghargaan
masyarakat dan pemerintah Indonesia atas jasa santri dan kiai dalam membantu mewujudkan
kemerdekaan Indonesia puluhan tahun silam.
Semua
pendapat ini tidak lain adalah karena kekeliruan anggapan masyarakat—termasuk
sebagian kalangan santri—akan makna esensial pesantren dan tujuan menuntut ilmu yang sesungguhnya.
Ketika
ditanya tentang tujuan mondok, jawaban terbanyak yang
dilontarkan oleh para santri jelas
untuk menuntut ilmu agama. Padahal, tujuan
mondok bukan hanya untuk menuntut ilmu agama, karena menuntut ilmu agama adalah
kewajiban setiap muslim. Perlu kita
garis bawahi, tujuan adalah
perkara yang dimaksud, sedangkan
kewajiban adalah suatu
keharusan. Maka, setiap orang Islam jelas
mempunyai keharusan untuk
menuntut ilmu agama, namun tidak
semuanya memiliki tujuan
dibalik pencarian ilmu
tersebut. Bukankah Rasulullah Saw. pernah bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya:
“Menuntut ilmu itu sangat diwajibkan bagi setiap muslim (baik laki-laki maupun
perempuan)”.[1]
Jika
tujuan kebanyakan siswa/ mahasiswa dalam menuntut ilmu adalah untuk mendapatkan
ijazah dan tujuan duniawi lainnya, maka seyogyanya, tujuan santri dalam menuntut
ilmu agama di pesantren—selain untuk menghilangkan kebodohan dan tujuan ukhrowi—adalah
untuk dakwah. Karena sejak awal berdirinya pesantren di Indonesia, dakwah
adalah tujuan utama. Buktinya, penyebab perkembangan Islam di Indonesia pada abad
ke-14, didominasi oleh penyebaran syariat Islam
dari kaum santri.
Islam
(khususnya di Jawa) pada awal kedatangannya hanyalah berupa Islamisasi yang
berangkat dari hati ke hati. Keberadaan muslim di suatu tempat hanya
mengenalkan Islam secara umum dan terbatas. Lembaga pendidikan Islam
(pesantren) yang di prakarsai Wali Songo lah yang kemudian memberikan warna
tersendiri bagi sejarah Islam di Indonesia, khususnya Jawa.
Meskipun sebenarnya, pesantren sudah ada jauh sebelum
masa Wali Songo. Howard M. Federspiel—pengkaji keislaman di Indonesia—menyebutkan
bahwa menjelang abad ke-12, pusat-pusat studi di Aceh, Palembang (Sumatera),
Jawa Timur, dan Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan karya keilmuan (kitab) dan
tulisan-tulisan penting, hingga menarik santri dari berbagai penjuru Nusantara
untuk datang belajar.
Berangkat
dari catatan tersebut, dapat dipastikan jika pesantren merupakan lembaga pendidikan
tertua di Nusantara dan sudah ada sejak abad ke-12 —yang mungkin masih berupa
pengajian-pengajian kecil di surau, masjid, atau pondokan kecil. Namun,
baru pada abad ke-14 (masa Wali
Songo), nama pesantren lebih dikenal luas dengan banyaknya
santri yang datang dari berbagai daerah.
Sehingga, asrama besar tempat santri menginap pun
didirikan.[2]
Dengan
media pendidikan Islam (pesantren) yang diprakarsai oleh Wali Songo itulah, ajaran
agama Islam bisa disebarluaskan kepada masyarakat secara utuh dan menyeluruh
sehingga syariat Islam bisa difahami dengan sempurna. Pesantren mempunyai andil
besar terhadap perkembangan agama Islam, tidak hanya di Jawa, tapi juga di seluruh
Nusantara.[3]
Sesuai
dengan sejarah yang telah dipaparkan. Rasanya sudah jelas jika tujuan utama
didirikannya pesantren adalah untuk menyebarluaskan syariat Islam secara utuh
dan menyeluruh yang dalam hal ini biasa kita sebut dengan kata “dakwah”.
Hal
ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad Saw. yakni:
الدين النصيحة قلنا : لمن ؟ قال لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة
المسلمين وعامتهم
Artinya:
“Agama adalah nasihat (mengharapkan kebaikan). Kami (para sahabat) bertanya: ‘Kepada siapa?’ Rasulullah bersabda: ‘Kepada Allah,
kitab-Nya, rasul-Nya dan pemimpin-pemimpin orang Islam dan rakyatnya”.[4]
Lantas,
bagaimana cara kita untuk memberi nasihat (berdakwah) kepada para pemimpin dan
umat Islam secara keseluruhan—sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah
Saw.—jika tujuan mondok kita hanya untuk menuntut ilmu?
Media
Dakwah
Benarlah
apa yang di-dawuh-kan oleh Hadrotussyaikh KH. Abdullah Faqih bahwa: “Santri iku kudu iso dadi kiai
ning endi ae.” (santri itu harus bisa menjadi kiai dimanapun)[7]. Santri Langitan
menafsirkan dawuh ini dengan berbagai makna, ada yang mengatakan makna dawuh
ini adalah: bahwa santri, harus bisa menjadi kiai seutuhnya dimanapun.
Artinya, dimanapun santri berada ia harus bisa menjadi tokoh panutan masyarakat
dan mengajarkan ilmu yang ia dapatkan ketika menuntut ilmu dengan mendirikan
pesantren. Namun, penafsiran yang lebih populer di kalangan santri Langitan
tentang dawuh tersebut adalah: bahwa santri harus menjadi kiai, dalam profesi apapun yang ia jalani.
Artinya,
apabila ia menjadi dokter, maka ia harus menjadikan dunia kedokteran sebagai
media dakwahnya dengan menjadi orang yang paling alim, mempraktikkan agama, dan
mendakwahkannya pada kalangan dokter. Begitupun jika ia mempunyai pondok
pesantren, maka ia harus benar-benar menjadikan pesantren sebagai media
dakwahnya dengan berusaha menjadi kiai yang paling alim di kalangan kiai-kiai
pondok pesantren, dan mencetak santri berkualitas sebanyak-banyaknya demi
kemajuan Islam. Begitu seterusnya.
Penulis
sendiri lebih setuju dengan penafsiran dawuh yang kedua. Karena hal ini
sejalan dengan dawuh KH. Abdullah Faqih yang lain, seperti:
·
“Santri iku kudu balong pring, tegese dikongkon sembarang kalir yo kudu
iso. Dadi anggota DPR yo kudu iso.” (Santri itu harus seperti batang bambu,
maksudnya disuruh menjadi apapun ya harus bisa. Menjadi anggota DPR pun ya
harus bisa)[8].
·
“Nek putrane sampeyan wes mari dipondokno, sak teruse, cek sampeyan
sekolahno dadi Sarjana Ekonomi, politisi, utowo pejabat, sak karep sampeyan.
Sebab, bocah nek wis nduwe dasaran agama insya Allah no endi ae slamet” (Kalau
anak Anda sudah selesai dipondokkan, selanjutnya, mau Anda sekolahkan menjadi
Sarjana Ekonomi, politisi, atau pejabat, terserah Anda. Sebab, seorang anak
jika sudah mempunyai dasar agama insya Allah dimanapun akan selamat)[10].
Secara
tidak langsung, dawuh-dawuh ini menjelaskan kepada kita akan makna
esensial kiai dan tujuan sebenarnya menuntut ilmu di pesantren. Santri tidak
harus menjadi kiai yang mendirikan pondok pesantren dan mempunyai puluhan
bahkan ribuan santri. Tujuan menuntut ilmu di pesantren yang sebenarnya adalah
bahwa santri harus menjadi juru dakwah yang fleksibel, menjadi kiai dimanapun
dan apapun profesi yang ia jalani. Sebagaimana apa yang di-dawuh-kan
oleh KH. Abdullah Faqih.
Contohnya,
bisa kita lihat sendiri. Banyak lulusan pesantren yang
sukses menjadi kiai dalam profesinya dan menjadi orang-orang berpengaruh di Indonesia, bahkan
dunia. Sebut saja Habiburrahman El-Shirazy, KH. Musthofa Bisri dan Dr. Zamawi
Imron yang memilih sastra dan budaya sebagai media dakwahnya; ada juga Gus Dur
yang memilih jalan politik sebagai media dakwahnya; dan masih banyak lagi
jebolan pesantren yang menjadi orang sukses dan berpengaruh, dengan latar
belakang santri. Jika sudah menjadi orang yang berpengaruh, maka, menyebarluaskan
syariat Islam pun akan menjadi lebih mudah. Dapat kita bayangkan, jika seluruh santri Nusantara mau
mengembangkan kemampuannya dan menjadikannya sebagai media dakwah. Maka,
bukan hal yang mustahil jika
santri akan menguasai peradaban modern, dan Islam akan
kembali lagi pada masa keemasannya.
Orang-orang
yang skeptis terhadap pesantren dan santri-santri yang ragu akan kesantriannya,
sepertinya harus berkaca pada sejarah keemasan Islam. Banyak sejarawan yang
mengakui jika awal sejarah
kebudayaan dunia adalah kebudayaan Islam, terbukti dengan adanya perpustakaan
terbesar di Eropa pada masa kejayaan St. Gall di abad ke-9. Perpustakaan ini mengeluarkan 36 edisi
koleksinya, dan pada waktu yang sama, perpustakaan Cordova mempunyai koleksi
sebanyak 500.000 judul buku. Pada saat itu, buku adalah hal yang sangat
berharga. Buku bukanlah sekedar kertas, tetapi buku dapat menciptakan ilmuwan-ilmuwan
muslim seperti yang ada di Spanyol Islam (Andalusia).[11]
Dan
perlu digarisbawahi, sebelum mereka menjadi cendekia dan ilmuwan ulung yang
diakui dunia, yang pertama kali mereka lakukan adalah menjadi tholibul ilmi (santri).
Tentu saja dengan menuntut ilmu agama serta mendalami al-Qur’an dan Hadits.
Buktinya, sebut saja Ibnu Sina yang sudah menguasai
al-Qur’an sejak usia 10 tahun[13], ada juga al-Mawardi yang
menempuh pendidikan dasarnya dengan mempelajari Fiqih di Bashrah[14], al-Biruni yang sejak
kecil sudah mempelajari hukum Islam[15], Ibn Rushd (Averroes)
yang sangat menguasai permasalahan agama dan hukum sehingga sering mengutip ayat al-Qur’an dan Hadits
dalam karyanya[16].
Dengan
tetap mengamalkan dan berpegangan pada ilmu agama serta penguasaan al-Qur’an
dan hadits yang mereka miliki, Allah memberi mereka kemudahan untuk menemukan
penemuan-penemuan baru yang nantinya akan berpengaruh terhadap perkembangan
dunia modern. Karena sekali lagi, menuntut ilmu agama adalah kewajiban, sedangkan
al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber
dari segala ilmu pengetahuan. Bukankah al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat
semua bidang ilmu dan Rasulullah adalah kotanya ilmu?.
Maka,
menjadi
santri adalah jalan
terbaik. Menuntut ilmu agama sebagai dasar serta memenuhi
kewajiban, kemudian mengembangkan bakat yang kita miliki sebagai media dakwah
demi kemajuan Islam adalah tujuan yang luar biasa.
Jangan
biarkan orang-orang non-Islam menguasai peradaban modern. Bukankah para cendekiawan Islam Spanyol
lah yang mempengaruhi pemikiran para filsuf Yahudi maupun
Kristen?[17]. Terimakah kita jika dari
750 orang penerima nobel, 178 orang diterima oleh orang Yahudi dan hanya 6 orang
dari Islam?[18].
Sudah
saatnya santri bangkit dan mengembalikan kejayaan Islam, karena jalan sukses tidak
pernah tertutup untuk santri. Buktinya, sudah kita lihat sendiri. Saatnya santri
mengembangkan bakat yang dia miliki dan menjadikannya sebagai media dakwah yang
dapat diterima masyarakat, lalu, katakan dengan percaya diri: “Ayo mondok! Lebih
sukses jadi santri. Sukses di mata Allah, sukses di mata masyarakat”. []
[1] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,
Maktabah Syamilah (t.t) hlm. 81, juz. 1
[2] H.
R. Umar Faruq, Ayo Mondok Biar keren, Pena
Media Publishing (2015) hlm. 47
[3] Ibid,
hlm.46
[4] An-Nawawi, Arba’in Nawawi, Maktabah Syamilah, (t.t) hlm. 7, juz. 1
[5] Ibn Daqiq al-‘Id, Syarh
Arba’in Nawawi, Maktabah Syamilah (t.t) hlm. 7, juz. 1
[6] Imaduddin
M. S, Dan Tuhan Pun Dikritik, Komunitas Sandal
Jepit
(2005) hlm. 45
[7] Dawuh
ini penulis dengar dari salah satu ustadz Madrasah Al-Falahiyah.
[8] Abdul
Muhaimin, Serpihan Dawuh Guru-Guruku Tercinta, RCSK
(2015) hlm. 24
[9] Ibid, hlm.
27
[10] Ibid, hlm.
29
[11] Minda Mila dan Triningsih, Cendekiawan Islam dari Geber Sampai Tamerlane, Kota Kembang (2003)
hlm. 1
[12] Ibid, hlm.
vi
[13] Ibid, hlm.
111
[14] Ibid, hlm.
99
[15] Ibid, hlm.
104
[16] Ibid, hlm.
141
[17] KH. Toto Tasmara, Yahudi mengapa Mereka Berprestasi, Sinergi (2010) hlm. 39
[18] Ibid,
hlm.
161
0 Komentar