Mendengar kata Muharram mungkin yang
pertama kali muncul dalam benak kita adalah tahun baru Hijriyah. Jelas, karena
Muharram merupakan bulan pertama dalam penanggalan Hijriyah sebagaimana Januari
dalam penanggalan Masehi. Namun meskipun sama-sama bulan pertama, penyambutan
tahun baru diantara keduanya sangat berbeda. Ketika Desember sudah memasuki
akhir, orang-orang di berbagai belahan dunia dan bahkan mungkin kita sendiri berlomba-lomba
untuk menyiapkan berbagai perayaan dan pernak-pernik demi menyambut tahun baru
Masehi. Sudah tidak aneh lagi jika pada detik-detik pergantian tahun tiba, kita
melihat kembang api dan terompet bersahutan demi memeriahkan malam itu. Berbeda
dengan tahun baru Hijriyah yang hanya anteng-anteng saja. Mungkin bagi
sebagian orang yang paling berkesan dari tahun baru Hijriyah hanyalah tanggal
merah dan pengajian umum. Karena selain itu, tidak ada lagi sesuatu yang luar
biasa dalam penyambutan tahun baru Hijriyah. Lalu, kemanakah umat islam? Kenapa
mereka tidak berpesta dan merayakan tahun barunya seperti halnya perayaan dalam
tahun baru Masehi.
Tahun baru Hijriyah berbeda dengan tahun
baru Masehi. Meski bagaimanapun keduanya tidak bisa disamakan. Karena dalam
pembuatannya, penanggalan Hijriyah mempunyai hikmah yang luar biasa. Tahun
Hijriyah mulai diberlakukan pada masa khalifah Umar bin khottob. Dan sistem
penanggalan Islam (Hijriyah) tidak mengambil nama “Tahun Muhammad” sebagai
Nabinya atau “Tahun Umar” sebagai pencetus. Artinya dalam penamaannya sendiri,
penanggalan Islam tidak mengandung unsur pemujaan terhadap sesorang atau
penonjolan personifikasi. Tidak seperti penanggalan tahun Masehi yang diambil
dari gelar nabi Isa Al-Masih (arab) atau Messiah (Ibrani) atau
sistem penanggalaan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari nama Raja Aji
Saka.
Penamaan nama Tahun Hijriyyah merupakan
kebijaksanaan Khalifah Umar atas usulan dari Sayidina Ali. Seandainya ia
berambisi untuk mengabadikan namanya untuk penanggalan itu dengan nama Tahun
Umar, sebenarnya sangatlah mudah. Umar tidak mementingkan keharuman namanya
atau membanggakan dirinya, tapi Umar lebih mementingkan kerendahan dirinya dan
malah menjadikan penanggalan itu sebagai zaman baru pengembangan islam. Karena
momentum awal penanggalan Hijriyah mengandung makna spiritual dan historis yang
amat tinggi harganya bagi umat islam. Penanggalan Hijriyah dimulai dari
peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad dan umat Islam meninggalkan Makkah menuju
Madinah. Betapa kita bayangkan kesedihan Nabi Muhammad dan kaum Muhajirin yang
harus meninggalkan tanah air dan harta bendanya demi menegakkan agama Allah.
Melihat hikmah dan makna historis yang
terkandung didalam pembuatan Tahun Hijriyah. Sudah sepantasnya bagi umat Islam
untuk merenunginya dengan tidak merayakannya secara berlebihan. Karena Allah
juga benci terhadap orang yang berlebih-lebihan. Caranya dengan bersyukur atas nikmat usia yang
Allah berikan kepada kita, mengenang hijrah Rasulullah SAW,
dan memperbanyak ibadah kepada
Allah baik sebelum maupun sesudah tahun baru Hijriyah. Seperti berpuasa dan
berdoa pada awal dan
akhir tahun. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
“Barangsiapa berpuasa pada hari
terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama dan hari pertama bulan Muharram,
maka dia benar-benar mengakhiri tahun
yang sudah lewat dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah
menjadikan untuknya penebus dosa lima puluh tahun”
Muharram dan Keistimewaannya
Muharrom merupakan salah satu
dari bulan-bulan yang dimuliakan (asyhurul hurum) yaitu bulan Muharram,
Dzulhijjah, Dzulqo’dah, dan Rajab. Oleh sebab itu dianjurkan untuk memperbanyak amalan
ibadah pada bulan ini baik amalan dalam benuk ritual maupun sosial. Pada
bulan-bula Asyhurul Hurum kita juga disunnahkan (muakkad) untuk
memperbanyak ibadah puasa baik itu satu bulan penuh, dawud, atau puasa
Senin Kamis.
Pada bulan Muharram juga tedapat
hari ‘Asyura. Dinamakan Asyura karena bertepatan dengan tanggal 10
bulan Muharram. ‘Asyura merupakan hari yang istimewa karena banyak
peristiwa yang terjadi pada hari itu. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits:
“Saya lebih berhak untuk mengikuti Musa
daripada kalian.” Maka
beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk melakukannya. Banyak
faidah yang d janjikan Allah bagi orang yang berpuasa di hari ‘Asyura.
Diantaranya adalah mendapat pahalanya sepuluh ribu orang yang menjalankan haji
dan mati syahid.
Namun selain disunnahkan puasa pada hari
Asyura, umat Islam juga dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram yang
disebut dengan hari Tasu’a. Hal ini untuk membedakan antara kita dengan
orang-orang Yahudi. Sebagaimana hadits Nabi:
“Berpuasalah pada hari Asyura dan
berbedalah dengan orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelum dan sehari
sesudahnya.”
*Dikutip
dari berbagai sumber
0 Komentar